Minggu, 24 Februari 2013

Sistem Perkebunan Kelapa Sawit telah Menjadikan Rakyat Kuli di Negeri Sendiri


Master Plan Presiden untuk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)  baru saja diluncurkan dan salah satunya adalah menjadikan Kalimantan sebagai pusat perkebunan dan pengelolaan minyak kelapa sawit. Bagi para petani di Kalimantan, kebijakan ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan mereka karena sistem perkebunan kelapa sawit selama ini sesungguhnya tidak berpihak kepada para petani lokal atau masyarakat Indonesia.
Apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar yang terjadi begitu cepatnya di Indonesia? Sampai dengan tahun 2010 saja diperkirakan total luas izin usaha perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Barat mencapai 4,7 juta ha. Sementara itu untuk izin-zin informasi lahan sudah mencapai 6 juta ha. Jumlah ini belum lagi rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan perbatasan sebgai sentra pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar dengan membangun2.671.760 ha, dengan mengacu pada Master Plan dari Presiden RI 2011-2014. Sudah dapat dipastikan bahwa jumlah ini akan lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang. Selain itu, sudah dapat dipastikan juga bahwa dampak yang akan muncul adalah semakin banyaknya tanah-tanah kaum tani yang akan terampas, dan konflik lahan akan semakin meluas lagi.
Lalu mengapa pemerintah begitu demam dengan kelapa sawit, meski terjadi perampokan besar-besaran terhadap tanah rakyat Indonesia? Secara politik pembangunan perkebunan kelapa sawit yang terjadi begitu cepat adalah manifestasi masih bercokolnya kekuasaan tuan tanah besar dan menjadi antek-antek kaum kapitalis monopoli asing. Tuan tanah besar yang dimaksudkan disini adalah segolongan orang yang merupakan warisan dari system feodal pada zaman kerajaan. Kelas ini sengaja dipertahankan keberadaanya oleh kaum pemodal monopoli dari negeri asing untuk memuluskan kepentinganya dalam hal merampok segala macam sumberaya alam yang ada di Indonesia. Mulai dari tanah, hutan, pertambangan dan apapun juga yang ada di Indonesia.
Secara ekonomi kelas tuan tanah besar yang menjadi kaki tangan kelas pemodal dari negeri asing terus menerus melakukan monopoli tanah dan sumberdaya alam lainya di negeri ini. Hal ini akan terus dilakukan karena kedudukanya sebagai kaki tangan kelas pemodal asing yang terus menerus menginginkan ketersediaan anekamacam pasokan barang-barang mentah. Hal ini dapat kita lihat dari orientasi pasar tanaman komoditi kelapa sawit. Secara keseluruhan dapat kita lihat bahwa hasil prouksi tanaman kelapa sawit ditujukan untuk ekspor. Barang-barang mentah atau setengah jadi (CPO) yang diekspor ke negeri asing tersebut kemudian diolah menjadi barang jadi dan kemudian dijual kembali ke pasar dalam negeri di Inonesia. Secara umum pola yang demikian sesungguhnya tidak hanya pada komoditi tanaman kelapa sawit. Namun hampir seluruh barang-barang hasil produksi pertanian dan pertambangan di Inonesia akan diolah menjadi barang setengah jadi dan kemudian diekspor ke luar negeri dan kemudian diolah menjadi barang jadi dan dijual kembali ke pasar dalam negeri.
Hal tersebut menunjukan begitu kuatnya cengkraman Negara asing yang melakukan politik jajahan secara tidak langsung, atau sering dikatakan melakukan politik setengah jajahan (Neokolonialisme kapitalisme)Neokolonialisme kapitalis bangsa asing yang lebih maju atau Negara industri tersebut dilakukan secara ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Bangsa asing melakukan penjajahan terhadap bangsa Indonesia dengan melakukan kerja sama dengan kelas-kelas penguasa di Inonesia. Bahkan saat ini pemerintah republik Indonesia dari pusat sampai ke daerah juga menjadi kaki tangan bangsa asing. Hal ini dapat kita lihat dari skema kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sepenuhnya memuluskan kepentingan bangsa asing (investor). Seperti UU perkebunan No 18 tahun 2004, UUPM no 25 tahun 2007, dan berbagai macam peraturan lainya yang sepenuhnya mendukung proses perampokan sumberdaya alam yang ada di Indonesia.
Neokolonialisme kapitalis oleh pihak asing umumnya dikenal dalam tiga wajah. Pertama,mereka menginginkan ketersediaan pasokan barang mentah atau setengah jadi. Hal ini akan terus diupayakan, karena untuk memastikan keberlanjutan industri milik mereka.Kedua menginginkan ketersediaan tenaga kerja murah. Tenaga kerja murah adalah salah satu prasyarat bagi kaum pemodal besar untuk mendapatkan keuntungan yang berlipatganda. Hal ini secara kongkrit dapat kita lihat dari begitu murahnya tenaga kerja di Indonesia. Ketiga adanya indikasi ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk mereka. Fenomena ini secara konkret juga dapat kita lihat, bagaimana secara keseluruhan barang-barang yang kita beli adalah barang-barang asing, jikakalau pun itu dibuat di Indonesia namun lisensinya adalah milik asing, atau barang asing yang dirakit di Indonesia. Padahal jika kita periksa barang-barang yang kita beli tersebut semuanya berasal dari perut bumi Inonesia.
Lantas bagaimana dengan tanaman sawit. Tanaman sawit sesungguhnya adalah salah satu bagian dari sekian banyak komponen yang akan terus dikembangkan di Pulau-pulau terbesar di negeri ini. Kenapa tanaman sawit mengalami perkembangan yang begitu pesat dengan ekspansi lahan begitu luas? Karena tanaman kelapa sawit saat ini sedang dibutuhkan di pasaran dunia. Tanaman ini dianggap dapat dijadikan sebagai tanaman yang dapat diproses menjadi minyak alternative seiring dengan potensi krisis minyak bumi. Hal inilah yang mendasari perkembangan yang begitu cepat pembangunan perkebunan kelapa sawit di Inonesia. Karena diindonesia dianggap sebagai Negara agraris yang masih banyak menyediakan tanah.
Pola perkebunan kelapa sawit yang pernah ada
Secara umum terdapat tiga pola yang pernah ada dalam sistem persawitan di Indonesa. Berbagai macam pola yang pernah ada ini secara keseluruhan dibungkus dengan coverkemitraan.
Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun)
Pola PIR-Bun adalah pola yang pertama kali diterapkan dalam sejarah persawitan di Indonesia. Pelaksanaan pola ini didasarkan pada kebijakan pemerintah lewat INPRES nomor 1 tahun 1986. Dalam pelaksanaannya masyarakat (petani pribumi) dikategorikan sebagai plasma, sementara perusahaan sebagai inti. Masyarakat/kaum tani sebagai plasma akan menapatkan bagian masing-masing kepala keluarga sebanyak 1 kapling atau 2 ha, sementara sisanya akan dikuasai oleh perusahaan sebagai inti. Sepintas pola ini sangat baik, namun jika diperiksa pelaksanaanya maka kaum tani sebagai plasma dibebankanbanyak kewajiban yang sangat merugikan kaum tanipertama adalah potongan kredit sebesar 30%; kedua potongan rawat jalan sebesar 2 %; ketiga potongan untuk jasa pelayanan KUD 3 %; dan keempat adalah potongan untuk pengangkutan yang nilainya berdasarkan kesepakatan antara petani dan pengangkut. Untuk pola ini segala macam proses produksi ditanggung sendiri oleh petani plasma.
Dari sini sesungguhnya sudah dapat dilihat bagaimana pengusaha dengan bungkus kerjsama/kemitraan melakukan penindasan terhadap kaum tani lokal. Banyak hal yang dapat kita kritisi dari pola ini.
Pertama potongan sebanyak 30% untuk kredit kepada bank penyalur kredit. Ini adalah proses monopoli yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap petani. Monopoli yang dimaksud adalah dengan mengikat kaum tani dengan hutang yang harus dibayar kaum tani setiap panennya. Persoalanya adalah proses pemotongan tersebut dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. Kemudian proses penyaluranya juga harus lewat perusahaan.
Keduapenyaluran kredit dari bank yang harus melewati perusahaan dengan alasan untuk menjamin kepastian usaha para petani plasma dan sebagainya, namun sesungguhnya ini adalah proses monopoli yang dibungkus dengan jubah kemitraan. Dalam hal ini kita juga bisa berandai-andai, jika memang pembangunan perkebunan kelapa sawit dibiayai dari bank dengan jaminan hamparan tanah yang telah diserahkan rakyat Indonesia kepada perusahaan, kenapa tidak langsung masyarakat saja yang memiliki tanah. Artinya masyarakat cukup dengan mengagunkan tanahnya kepada bank, setelah bank mengucurkan uangnya, maka kaum tani dapat melakukan pembangunan perkebunan secara mandiri tanpa adanya dominasi dari perusahaan. Tapi kenapa ini tiak dilakukan oleh pemerintah Indonesia?
Pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA)
Pola pelaksanaan KKPA didasarkan atas keputusan bersama menteri pertanian dan koprasi dan pembinaan pengusaha kecil no 73/Kpts/Kb.510/2/1998 dan No 01/SKB .M/11/98. Pola ini sesungguhnya adalah kelanjutan dari pola PIR. Dimana didalamnya praktek penghisapan dan penindasan terhadap kaum tani akan dilipatgandakan lagi. Seperti apa pelaksanaan pola ini?
Jika dalam pola PIR-Bun petani plasma akan mengelola sendiri atau mengerjakan sendiri proses produksi pertaniannya, sehingga petani plasma dapat melihat sejauh mana hasil produksi pertanianya dan berapa uang yang harus diterima setiap kali musim panennya. Hal ini menjadi berbeda dengan pola KKPA. Dimana petani plasma tidak secaralangsung lagi mengelola lahan plasmanya. Namun lahan plasma yang telah dibagi seluas 2 ha akan dikerjakan oleh buruh tani yang diorganisasikan lewat koperasi yang dibentuk disetiap blok yang ada. Sepintas sistem ini dilihat sedikit lebih baik dari pola PIR-Bun. Namun yang tersembunyi di balik pola ini sesungguhnya adalah perusahaan ingin melipatgandakan lagi keuntunganya dengan meningkatkan potongan-potongan yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan. Dimana perusahaan melipatganakan potonganya? Perusahaan akan melipatganakan potonganya kepada petani plasma dalam biaya produksi. Karena dalam pola ini petani plasma tidak perlu lagi repot-repot mengerjakan secara langsung lahan plasmanya, namun akan dikelola oleh perusahaan lewat koperasi yang dibentuknya. Seberapa besar potongan-potongan dalam pola ini belum ada data yang pasti.
Pola Satu Manajemen atau Pola Bagi hasil atau Pula Kemitraan
Pola PSM atau pola bagi hasil atau kemitraan adalah perkembangan lebih lanjut dari Pola KKPA. Pola ini didasarkan pada peraturan menteri pertanian tahun 2009. Artinya sejak tahun 2009 seluruh pembangunan perkebunan akan menggunakan pola satu manajemen. Pelaksanaan pola ini sudah tidak lagi mengenal inti dan plasma. Namun perusahaan akan langsung membagi 80:20, (80% adalah milik perusahaan dan 20% adalah milik masyarakat di sekitar konsesi lahan perusahaan). Seperti yang saya katakana di atas bahwa pelaksanaan pola ini lebih buruk lagi dari pola-pola yang sebelumnya. Karena dalampelaksanaan pola ini, seluruh lahan yang dikatakan menjadi milik masyarakat atau sebanyak 20% sepenuhnya akan dikelola perusahaan. Seperti pola KKPA, jika dalam pola KKPA lahan plasma dikerjakan oleh perusahaan lewat koperasi, namun dalam pola ini lahan 20% milik masyarakat sepenuhnya langsung dikerjakan perusahaan. Sepintas pola ini lebih baik, namun jika diperiksan potongan yang harus ditanggung kaum tani sangat besar. Berikut ini adalah potongan-potongan dalam system satu manajemen.
1. potongan kredit sebesar 30%,
2. potongan untuk manajemen vee sebesar 5 %,
3. potongan untuk biaya perawatan 35 %,
4. potongan jassa pelayanan untuk KUD 3%,
5. potongan untuk biaya pengangkutan sebesar 10%,
6. potongan untuk biaya pemanenan 5%,
7. potongan lansir atau pekerja sebesar 2%.
Dari sini dapat kita lihat besarnya potongan yang harus ditanggung kaum tani. Dari total produksi lahan seluas 20%, kaum tani hanya menerima sebanyak 10%, sisanya 90% telah dirampok oleh perusahaan.
Sekedar Menutup
Demikian uraian singkat bagaimana pelaksanakan sistem perkebunan kelapa sawit skala besar di Inonesia. Siapakah yang akan diuntungkan dan disejahterakan dengan adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan? Petani lokal ataukah pengusaha. Selagi sistem melalui peraturan pemerintah tidak memihak pada rakyat, maka adanya perkebunan kelapa sawit di berbagai tempat di Indonesia bukannya menyejahterakan rakyat Indonesia, tetapi malah semakin membuat rakyat Indonesia yang awalnya empunya tanah, harus kehilangan tanah tumpah darahnya dan ditindas sebagai kuli di negerinya sendiri. Siapa yang salah? Pemerintah yang mengelurkan peraturan? Perusahaan yang salah menerapkan sistem? Ataukah rakyat yang bodoh?
Referensi: dari berbagai sumber tertulis dan wawancara dengan petani perkebunan kelapa sawit di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia. sumber : http://ponsa.wordpress.com

2 komentar:

  1. Suka makan goreng goreng, minyak gorengnya darimana ya...

    BalasHapus
  2. Saya sarankan anda datang ke PT HSL, Manis Mata - Ketapang. Saya siap berdiskusi mengenai artikel di atas. Kami menerapkan sistem KKPA. Ketentuannya jelas dan potongan per bulannya juga sangat jelas dan transparan.

    BalasHapus