Hidup di kandung adat, mati di kandung tanah. Itulah peribahasa orang tua sejak zaman dahulu kala. Dari itulah sejak dulu secara turun temurun adat tetap dipertahankan hingga kini. Walaupun kita percaya bahwa adat istiadat yang kita lakukan sekarang ini sudah menyesuaikan dengan tempat dan pengaruh dari adat budaya yang dibawa dari luar serta pengaruh zaman dan waktu.
Untuk inilah kita perlu untuk mencatat dan memberikan pegangan untuk melaksanakan acara adat Begunting Rambut dan Tinjak Tanah. Mudah-mudahan dengan panduan ini kita tidak terlalu jauh melenceng dari tata cara dan makna dari adat yang akan dilaksanakan.
Gunting Rambut
Apabila anak bayi telah berumur 40 hari dan paling lama usia setahun, diadakan upacara Gunting Rambut dan Tinjak Tanah. Upacara ini bagi masyarakat Melayu yang berdomisili di Kabupaten Ketapang tak ada yang berani mengabaikannya, karena dipercayakan akan berakibat buruk bagi sang bayi kelak. Sebelum diadakan upacara ini, maka sang anak tidak diperbolehkan menginjak tanah. Ini suatu pantang/pemali bagi masyarakat Melayu Kayong.
Upacara ini mulai dari yang sangat sederhana, hingga secara besar-besaran dan mewah, tergantung kemampuan orang tua si bayi.
Karena ada Melayu yang bersandarkan syarak, syarak bersandarkan Kitabullah, maka dalam upacara ini akan terlihat dengan jelas.
Selanjutnya berdasarkan legenda yang dipercaya oleh masyarakat Ketapang bahwa nenek moyang yang berasal dari Indonesia, pertama kali adalah rombongan Tuk Upui dengan ciri berkendit hitam, pada upacara gunting rambut dan tinjak tanah si bayi beri selembar benang warna hitam diikatkan ke pinggang bayi.
Rombongan kedua adalah rombongan yang dipimpin oleh Tuk Bubut bergelang benang. Ini terlihat bahwa sang bayi yang akan mengikuti upacara diberi gelang dari kain berwarna kuning (hal yang sama akan diberikan juga pada anak laki-laki yang akan bersunat).
Upacara gunting rambut merupakan satu paket yang terdiri dari Gunting Rambut, Tinjak Tanah, Betimbang (bagai turunan bangsawan), Mandi-mandi, dan Makan Nasi Adab.
Pada hakikatnya upacara ini adalah melaksanakan Sunnah Rasul yang kemudian digabungkan dengan adat istiadat warisan nenek moyang. Kepada sang bayi kenalkan bahwa ia berasal dari tanah dana akan kembali kepada tanah.
Hal ini diperlambangkan dengan menampilkan tanah sekepal, telur sebiji, paku, dan keminting pada piring ketujuh dari susunan piring-piring setelah tangga dari tebu.
Pelaksanaan Gunting Rambut
Upacara ini didahului pembacaan kita Al-Berzanzi.
Anak bayi yang akan digunting rambutnya dipersiapkan sebagai berikut:
- Pemasangan kendit
- Pemasangan gelang benang (kain kuning)
- Rambutnya diikat-ikat, setiap ikatan diikatkan manik-manik atau hiasan dan kadang uang logam atau cincin emas.
- Sebuah talam yang berisi gunting, cincin emas, kelapa cengkir yang sudah dihiasi dan masih berisi airnya sebatang lilin yang menyala, bunga rampai, mata beliung, serta tepung tawar yang sekarang disebut kase beras.
- Sebuah talam lagi berisi bunga cucok telur.
Begitu pembacaan Al-Berzanzi sampai ke pembacaan Qasidah Berzanzi yang biasa disebut Asraqal, di mana semua tamu berdiri, maka sang bayi dikeluarkan. Bayi keluar pada saat lagu Qasidah sampai pada Ya Habibi.
Sebelum didahului dengan menaburkan bunga rampai yang berisi permen atau uang logam yang diperebutkan oleh anak-anak. Penaburan bunga rampai tersebut dimaksudkan sebagai pemberitahuan dimulainya gunting rambut.
Bayi disodorkan kepada orang yang dihormati baik tentang usia, agama dan adat istiadatnya. Orang tersebut mengambil gunting dan dengan membaca doa singkat untuk kebaikan sang bayi, maka ikatan rambut digunting. Setelah menggunting, maka yang bersangkutan diserahkan sebuah bunga cucok telor.
Selanjutnya pengguntingan rambut bayi diserahkan ke beberapa orang berikutnya sesuai dengan jumlah bunga cucok telor yang tersedia dengan hitungan ganjil, yaitu minimal 3 maksimal 7.
Kadang-kadang dibawakan Qasidah Berzanzi yang sudah sangat langka dan hampir punah di tanah Kayong, yaitu Qasidah Berzanzi yang diiringi dengan gendang tar, yaitu disebut Seraqal Tue Semayok Kecamatan Tumbang Titi dan 8 kali perubahan lagu dan pikulan pada gendang tar dengan urutan sebagai berikut, Siun, Cang Dua, Gentar Tiga, Wajo, Lampas, Beruas, Cak Trum/Ketipung, Tanjung Pasir, dan Tahtim.
Budaya ini mungkin mengingat kita bahwa pada waktu Rasulullah tiba di Yasrif atau sekarang Madinah, maka para penyambut menyanyikan Qasidah Tala’al Badru sambil memukul gendang.
Tinjak Tanah
Acara Ini tak terpisahkan dari acara gunting rambut. Hanya kadang-kadang karena kesanggupan orang tua sang bayi belum cukup, maka terpaksa acara Tinjak Tanah ditunda untuk sementara waktu.
Bahan yang dipersiapkan adalah sebagai berikut:
- Balai Jawe. Sebuah bangunan berupa rumah mini tanpa dinding (balai).
- Tebu kuning secukupnya untuk dibuat tangga dan bangunan seperti atap.
- Juadah sebanyak 6 jenis yaitu: dodol merah, dodol putih, cucor, ariadam, cengkarok, dan sesagun yang masing-masing ditaruh dalam sebuah piring.
- Sepiring lagi berisi tanah dan sebiji telur ayam kampung.
Tebu yang telah dibuat tangga tersebut ditutup dengan kain batik 7 lapis atau sekurang-kurangnya 3 lapis.
Kue-kue yang di dalam 6 buah piring dan piring ketujuh yang berisi tanah dan telur disusun di depan “tangga” dengan urutan, dodol, dodol putih, cocor, ariadam, cengkarok, sesagun, tanah, telur ayam, dan paku keminting.
Begitu gunting rambut selesai, maka anak bayi tersebut mula-mula melewati bangunan yang dinamakan Balai Jawe (khusus untuk anak kaum bangsawan) yang disambut oleh seorang pemuda dan langsung diinjakkan ke tangga dari tebu. Sampai di puncak, lalu menurun dan diinjakkan ke piring-piring yang berisi kue-kue tersebut. Setiap putaran maka kain penutup tangga tebu dibuka. Setelah genap tujuh kali, maka telur dipecahkan dan diinjakkan ke kaki sang bayi.
Biasanya tangga tebu tersebut dilemparkan ke halaman rumah lalu jadi rebutan anak-anak dan juga orang tua yang punya anak kecil serta kakek-kakek yang punya cucu. Namun biasanya sebelum sempat dilempar ke halaman langsung diperebutkan.
Perebutan tangga tebu ini menandakan bahwa cara Tinjak Tanah telah selesai.
Makna dari kegiatan Tinjak Tanah ini adalah:
- Sang bayi turun dari rumah yang dilambangkan dengan Balai Jawe.
- Dalam mengarungi kehidupan ada naik dan turunnya dengan perlambangan tangga tebu.
- Dalam mengarungi kehidupan mengalami pahit manisnya kehidupan dengan perlambang juadah-juadah dalam enam buah piring.
- Lambang paku, keminting merupakan doa bagi sang bayi agar tegar dalam mengarungi kehidupan kelak.
- Akhirnya disadarkan kepada sang anak bahwa kita ini berasal dari tanah dan kembali ke tanah dengan perlambang memecahkan telur ayam di atas tanah pada piring terakhir.
- Adapun rebutan tangga tebu adalah suatu perlambang bagi sang bayi, bahwa rezeki dari Allah tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diusahakan dengan tangan, akal, dan pikiran.
Betimbang
Selanjutnya bagi anak turunan bangsawan Betimbang dengan dacing kayu yang dalam daun timbangan berisi, beras, gula merah, kelapa setampang, pisang sesisir, rempah-rempah, dan buah kundor.
Satu-satu si bayi diletakkan di daun timbangan yang berisi kain 7 lapis, sedang daun timbangan yang sebelahnya diisi dengan barang-barang tersebut di atas.
Makna dari upacara betimbang ini adalah suatu doa ke hadirat Allah SWT agar kelak sang bayi menjadi orang yang bermanfaat bagi orang tua dan masyarakat dengan kata lain memiliki bobot.
Mandi-mandi
Setelah upacara penambangan, maka sang bayi dimandikan secara umum sama seperti mandi 3 malam pada upacara perkawinan. Namun secara khusus terutama di desa-desa yang terletak di pinggir sungai mandi tersebut langsung dibawa ke sungai oleh seorang dukun dengan iringan gendang tar.
Untuk upacara mandi ini tidak terbatas hanya kepada anak turunan bangsawan, namun rakyat biasapun melaksanakannya.
Makan Nasi Adap
Jika telah selesai acara mandi-mandi, maka sang bayi dibawa masuk dan diganti pakaian. Setelah itu didudukkan seperti pengantin kawin/sunat menghadapi nasi kuning. Kemudian secara simbolis nasi dengan kelengkapannya disuapkan kepada sang bayi. Kemudian dibacakan doa selamat tolak bala.
sumber : http://www.equator-news.com/ketapang/20100406/prosesi-gunting-rambut-dan-tinjak-tanah-adat-melayu-ketapang
sumber : http://www.equator-news.com/ketapang/20100406/prosesi-gunting-rambut-dan-tinjak-tanah-adat-melayu-ketapang
makasih infonya min
BalasHapus